Seruput kopi pagi kali ini membuat saya kembali merenung tentang perjalanan anak negeri yang kini duduk di kursi legislatif dan ada pula yang diberi amanah mengisi jabatan strategis di eksekutif. Dahulu, kalian tumbuh dari rahim sosial yang sama: jalan tanah yang berdebu, ruang sekolah dengan papan tulis penuh kapur, serta pergaulan sederhana di tengah masyarakat yang berharap besar akan lahirnya pemimpin dari anak negeri sendiri. Kini, harapan itu seperti dititipkan kembali pada pundak kalian.
Namun, realitas yang kita saksikan tidak selalu sejalan dengan ekspektasi masyarakat. Di ruang legislatif, anak negeri diharapkan menjadi penyambung lidah rakyat, memperjuangkan regulasi yang berpihak pada kebutuhan mendesak: infrastruktur jalan antar desa, layanan kesehatan yang layak, hingga distribusi minyak tanah yang tak lagi membebani rakyat kecil. Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa sebagian persoalan itu justru semakin membelit masyarakat. Pertanyaan kritis pun muncul: apakah suara masyarakat benar-benar sampai ke ruang sidang dewan atau hanya menjadi catatan kecil dalam daftar panjang janji politik?
Begitu pula di eksekutif. Jabatan strategis yang kini diisi anak negeri semestinya menjadi ruang aktualisasi gagasan besar untuk mendorong perubahan nyata. Akan tetapi, data menunjukkan masih banyak kebijakan yang berjalan di tempat. Program pembangunan sering kali tak sinkron dengan kebutuhan mendasar rakyat. Ketika distribusi bantuan tidak tepat sasaran, ketika proyek pembangunan hanya menguntungkan segelintir, ketika akses pelayanan publik masih timpang—maka rakyat wajar mempertanyakan: apakah jabatan itu hanya menjadi kursi kekuasaan atau sarana pengabdian?
Saya ingin menegaskan, tulisan ini bukan untuk melemahkan, apalagi menjatuhkan. Justru sebaliknya, ini adalah panggilan moral. Sebab, siapa lagi yang akan rakyat harapkan jika bukan kalian, anak negeri sendiri? Kalian yang tumbuh dari bumi Sula, yang merasakan getirnya perjuangan rakyat, yang paham bahasa air mata dan senyum getir masyarakat di pasar Basanohi maupun di kampung-kampung terpencil.
Jika kalian gagal menghadirkan perubahan, maka rasa percaya masyarakat akan semakin rapuh. Tetapi jika kalian berani menunjukkan kerja nyata, menjadikan jabatan bukan sekadar simbol, melainkan ladang pengabdian, maka anak negeri akan kembali percaya bahwa harapan itu belum padam.
Kopi pagi ini mengajarkan saya satu hal: amanah tidak boleh diperlakukan sebagai warisan, melainkan sebagai ujian. Dan ujian itu hanya bisa dijawab dengan kerja keras, ketulusan, serta keberanian menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Kalau bukan kalian, siapa lagi yang kami harapkan?