SANANA- Peristiwa meninggalnya seorang ibu rumah tangga bernama Raina Umaternate di RSUD Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula, kini bergulir ke proses hukum.
Manaf Umaternate, yang merupakan ayah dari pasien meninggal dunia telah melaporkan pihak RSUD Sanana ke Polres Kepulauan Sula, Minggu (14/9/2025), terkait dugaan kelalaian yang menyebabkan anaknya meninggal dunia.
Manaf mengatakan peristiwa ini bermula saat dirinya bersama keluarga membawa anaknya Raina Umaternate di rumah sakit Sanana pada tanggal 13 September 2025, tepatnya jam 01.00 Wit malam, untuk mendapatkan perawatan medis, karena ada keluhan sakit pada pinggang, yang pada umumnya diketahui sebagai gejala atau tanda-tanda ibu hamil untuk melahirkan.
Setibanya di RSUD Sanana, kata Manaf, pasien dimasukkan ke ruangan Unit Gawat Darurat (UGD). Selanjutnya kata dia, petugas kemudian memeriksa kondisi pasien, setelah itu petugas menulis resep obat dan menyerahkan ke keluarga untuk mengambil Obat di bagian Farmasi atau apotek.
“Setelah obat diambil dan diserahkan ke petugas UGD kemudian tanpa memberikan tindakan medis Pada pasien, pasien langsung di naikkan ke kursi Roda dan diantarkan ke ruangan atau bagian kebidanan,” kata Manaf.
“Sesampainya di ruang atau bagian kebidanan hanya terdapat 1 (satu) petugas yang berjaga. Kemudian pasien di antar ke ruangan untuk beristirahat, sambil di temani oleh keluarga tanpa di dampingi oleh petugas jaga pada malam itu. Petugas Jaga hanya berpesan pada keluarga pasien jika pasien merasa sakit harus menghubungi petugas. Selang beberapa waktu pasien merasa sakit sehingga keluarga memanggil petugas yang sedang beristirahat atau tidur di ruangan petugas. Setelah itu petugas tiba dan memeriksa pasien, petugas kembali menyampaikan ke keluarga bahwa belum apa-apa, nanti kalau pasien merasa sakit lagi panggil kembali petugas dan petugas tersebut kembali beristirahat di ruangan khusus petugas,” sambutannya.
Lebih jauh, dikatakan Manaf, setelah petugas kembali beristirahat sekira jam 02.00 Wit, pasien kemudian kembali merasa sakit, sehingga keluarga kembali memanggil petugas yang sedang tidur, setelah petugas memeriksa pasien, kemudian keluarga pasien diminta untuk keluar dari ruangan.
“Keluarga yang di minta keluar dari ruangan sekitar jam 02.00 Wit malam, tanpa memberikan informasi kepada kelurga pasien, sampai kira-kira jam 04.00 WIT pagi petugas keluar untuk meminta sarung/kain dan petugas memberitahukan bahwa pasien sudah melahirkan, namun Plasenta belum keluar. Kemudian sekitar jam 05.00 WIT pagi kelurga pasien dipersilahkan untuk masuk dan melihat pasien,” ungkap Manaf.
Tidak berselang lama, ungkap Manaf, petugas memberitahukan kepada keluarga bahwa Plasenta belum keluar, dan pasien mengalami pendarahan, sehingga keluarga pasien diminta untuk mendonor darah dengan golongan dara (A).
“Petugas kebidanan mengarahkan keluarga untuk ke LEB (Laboratorium) untuk menanyakan stok dara dengan Golongan dara (A). Keluarga pasien sampai di LEB (Laboratorium) menanyakan ke petugas tentang stok dara dengan golongan dara (A) ada atau tidak. Petugas LEB (Laboratorium) menyatakan bahwa dara dengan golongan dara (A) stoknya masih tersedia 4 kantong. Namun petugas LEB (Laboratorium) menyampaikan ke keluarga untuk meminta rekomedasi dari bagian kebidanan agar stok dara yang tersedia di LEB (Laboratorium) bisa di berikan,” ujar Manaf.
“Setelah keluarga pasien mendengar keterangan dari petugas LEB (Laboratorium), kemudian keluarga pasien kembali menemui petugas kebidanan untuk meminta rekomendasi seperti yang di sampaikan oleh petugas LEB (Laboratorium), namun petugas di ruang kebidanan tidak mau memberikan rekomendasi dengan alasan keluarga harus mencari pendonor terlebih dahulu, baru rekomendasi di berikan,” lanjutnya.
Kondisi pasien yang begitu kritis, membuat keluarga pasien mengamuk lantaran tidak mendapatkan rekomendasi stok darah dari bagian kebidanan.
Hingga jam 06.00 Pagi Wit, pihak keluarga pasien mulai mengamuk, marah-marah ke petugas kebidanan baruh lah petugas kebidanan memberikan rekomendasi kepada pihak keluarga pasien untuk mengambil darah di LEB (Laboratorium).
Selanjutnya, setelah keluarga pasien mendapatkan darah yang dibutuhkan pasien dari LEB (Laboratorium) kemudian di serahkan ke petugas kebidanan, dan petugas memasang selang transfusi dara. Sayangnya, transfusi dara belum diterima pendonor (pasien) pasien dinyatakan meninggal dunia.
Hal ini di ketahui oleh keluarga karena petugas kebidanan melakukan tindakan RJP (Resusitasi Jantung Paru) dengan cara meletakkan dua telapak tangan pada pasien dan di tekan berulang-ulang.
Menurut keterangan keluarga pasien, setelah pasien sudah meninggal dunia, sekitar jam 07.00 Wit pagi, barulah dr. Wili sebagi ahli kebidanan datang di ruang kebidanan tanpa menggunakan atribut layaknya seorang dokter dimana dr.Willi datang dengan menggunakan Celana Pendek dan Kaos Oblong dan masuk keruangan pasien dan melihat dan melakukan RJP (Resutasai jantung Paru), sementara pasien telah meninggal dunia.
Berdasarkan fakta-fakta dan kronologi kejadian di atas, tegas Manaf, dirinya menuntut pihak RSUD Sanana untuk bertanggungjawab atas kelalaian yang menyebabkan anaknya meninggal.
“saya menuntut pihak RSUD Kabupaten Kepulauan Sula untuk bertanggung jawab atas kelalaian yang terjadi, sehingga pasien meninggal dunia dan meminta pihak kepolisian untuk melakukan investigasi lebih lanjut terhadap dugaan kelalaian pelayanan medis di RSUD Sanana, dan memproses secara hukum pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kelalaian tersebut,” tegasnya. (red)