Scroll untuk baca artikel
[smartslider4 slider="4"]
Gambar
2025080814130100
2025080814130100
2025080814130100
2025080814130100
2025080814130100
2025080814130100
2025080814130100
2025080814130100
2025080814130100
2025080814130100
poster_2025-10-04-092559
previous arrow
next arrow
Gambar
Sula

Kopi Pagi: Memburu Rekor MURI, Sula Kategori Daerah Tertinggal

95
×

Kopi Pagi: Memburu Rekor MURI, Sula Kategori Daerah Tertinggal

Sebarkan artikel ini
Foto: Detiksula.com

Oleh: Mohtar Umasugi

(Akademisi)

Pagi ini saya menyesap secangkir kopi di ruang outdoor JS coffe, sambil merenungkan satu ironi yang semakin terasa menusuk: Kabupaten Kepulauan Sula kembali disebut-sebut sebagai kandidat daerah tertinggal. Padahal, belum lama ini kita disuguhkan euforia—pemerintah daerah sibuk memburu rekor MURI untuk kegiatan seremoni dan festival. Tentu, tidak ada yang salah dengan upaya membangun citra positif, tetapi bukankah ada yang lebih mendesak dari sekadar memecahkan rekor?

Gambar

Mari kita jujur pada diri sendiri. Apa yang sebenarnya sedang kita kejar? Popularitas sesaat atau pembangunan yang berkelanjutan? Dalam beberapa tahun terakhir, geliat pembangunan infrastruktur di Kepulauan Sula tampak stagnan. Jalan antar-kecamatan banyak yang rusak, layanan kesehatan minim tenaga medis dan peralatan, kualitas pendidikan tidak beranjak dari persoalan klasik: kekurangan guru, fasilitas, dan kualitas pengajaran.

Sementara itu, angka kemiskinan dan pengangguran masih menjadi hantu yang membayangi masyarakat. Data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (jika kita mau jujur membaca) menunjukkan bahwa Sula belum benar-benar keluar dari ketertinggalan. Indikator dasarnya sederhana: akses layanan dasar, keterhubungan wilayah, kualitas SDM, dan kemandirian ekonomi. Maka tidak heran jika Sula tetap masuk dalam radar daerah tertinggal.

Lalu, mengapa pemerintah justru sibuk mengejar pengakuan simbolik seperti rekor MURI? Apakah ini bentuk kompensasi atas ketidakmampuan membangun fondasi pembangunan yang kokoh? Atau hanya sebatas strategi pencitraan politik menjelang kontestasi berikutnya?

Sebagai warga Sula, saya tentu ingin daerah ini dikenal luas, tetapi bukan semata karena jumlah peserta festival terbanyak atau upacara terlama. Saya ingin Kepulauan Sula dikenal karena keberhasilannya menurunkan angka kemiskinan, menciptakan lapangan kerja yang layak, membangun sekolah-sekolah yang inspiratif, dan menghadirkan layanan publik yang bermartabat.

Rekor terbaik bukan yang tercatat oleh MURI, melainkan yang dirasakan oleh rakyat: anak-anak yang bisa belajar dengan nyaman, ibu hamil yang tidak lagi menempuh berjam-jam untuk mendapat pelayanan medis, dan nelayan yang hasil tangkapannya dihargai layak tanpa harus bergantung pada tengkulak.

Pemerintah daerah semestinya tidak silau dengan pencapaian seremonial, tetapi lebih fokus menuntaskan problem struktural. Kita tidak butuh tepuk tangan dari luar, jika di dalam sendiri rakyat masih menjerit karena air bersih sulit didapat dan listrik hanya hidup separuh hari.

Dalam kopi pagi ini, saya belajar bahwa cita-cita besar hanya bisa dicapai bila kita mampu membedakan antara yang penting dan yang mendesak. Membangun Kepulauan Sula dari ketertinggalan adalah kerja sunyi, penuh konsistensi, bukan sekadar panggung dan publikasi.

Jika Sula ingin dikenal, biarlah ia dikenal sebagai daerah yang berhasil menolak tertinggal. Bukan karena rekor MURI, tapi karena rekor kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan.

Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *